Pengantar

Dakwah bagi tegaknya Khilafah dari hari ke hari terus menggeliat dan menunjukkan kemajuan yang berarti baik di negeri ini maupun pada tingkat internasional. Namun, bukan berarti dakwah itu tanpa tantangan dan hambatan. Di antara hambatan yang ada adalah adanya pertanyaan, komentar atau ide-ide yang menegasikan seruan tegaknya Khilafah, atau menciptakan keraguan akan konsep Khilafah atau tentang realisasi Khilafah. Untuk mendiskusikan beberapa hambatan yang bersifat intelektual itu, Redaksi al-Waie mewawancarai KH. Ir. M. Shiddiq al-Jawi, MSI dari DPP HTI yang juga dosen STEI Hamfara dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara, Yogyakarta. Berikut petikannya.

Kiai, dakwah bagi tegaknya Khilafah terus menggeliat dan mendapat kemajuan berarti dari hari ke hari. Tentu ada tantangan dan hambatan, di antaranya yang bersifat intelektual. Apa saja bentuknya?

Tantangan intelektual ini banyak bentuknya. Namun, yang paling berbahaya adalah penolakan atas kewajiban menegakkan Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam. Mengapa berbahaya? Karena kalau umat Islam sudah tak meyakini kewajiban menegakkan Khilafah, mustahil umat diajak memperjuangkan Khilafah, dan bahkan akan membenci Khilafah. Akhirnya, umat akan terus dijajah dan dicengkeram oleh ideologi Kapitalisme-sekularisme yang kufur, di bawah hegemoni AS.

Penolakan atas kewajiban menegakkan Khilafah itu argumennya bisa macam-macam, mulai argumen normatif, historis, sosiologis atau empiris. Namun, yang paling menipu dan menyesatkan adalah yang menyalahgunakan atau memelintir dalil ayat dan hadis. Yang melakukan pelacuran intelektual semacam ini umumnya kaum orientalis, semisal Thomas W. Arnold; juga kaum liberal atau sekular yang bertaklid kepada orientalis, semisal Ali Abdur Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Kaum liberal sekarang tak lain adalah cucu murid ideologis dari kaum orientalis atau kaum liberal pendahulu mereka semisal Sayyid Ahmad Khan, Qasim Amin, Thaha Husein, dan lain-lain.

Ada yang menyangkal dakwah Khilafah karena tidak ada dalil yang jelas tentang Khilafah, apalagi sebagai tatanan pemerintahan. Bagaimana menurut Kiai?

Begini. Khilafah itu kan masalah furu’. Artinya, masalah hukum syariah, bukan masalah ushul atau akidah. Dalil untuk hukum syariah itu beda dengan dalil untuk akidah. Kalau hukum syariah, dalilnya bisa qath’i (tegas) bisa zhanni (tidak tegas), tidak harus qath’i. Beda dengan masalah akidah yang dalilnya harus qath’i, yakni qath’i tsubut dan qath’i dalalah. Qath’i tsubut itu artinya dipastikan bersumber dari Rasulullah saw, yaitu al-Quran dan Hadis Mutawatir. Qath’i dalalah artinya mempunyai makna tegas/pasti, tidak multitafsir.

Maka dari itu, karena Khilafah adalah masalah hukum syariah, dan bukan masalah akidah, tidak ada persoalan kalau kewajiban menegakkan Khilafah itu dalilnya tidak qath’i; misalnya dari Hadis Ahad (bukan Mutawatir).

Lagipula, perlu saya tambahkan, mereka yang menyatakan Khilafah dalilnya tidak jelas, sebenarnya tidak konsisten. Kalau konsisten, pasti akan menolak juga demokrasi atau sekularisme. Karena dalilnya bukan hanya tidak jelas, bahkan tidak ada! Tak ada satu pun ayat atau hadis yang mengesahkan demokrasi atau sekularisme.

Sebagian orang menganggap bahwa Nabi saw. tidak meninggalkan tatanan pemerintahan tertentu.

Itu hanya kedustaan untuk melegitimasi sekularisme saat ini. Mengapa saya katakan dusta, karena bertentangan dengan fakta ajaran Islam. Sudah jelas bahwa Islam yang dibawa Nabi saw. adalah agama sempurna (QS 5:3) yang menjelaskan segala sesuatu (QS 16:89), termasuk tatanan pemerintahan. Saya pernah baca kitab Muhammad Syakir asy-Syarif berjudul Tajdid al-Khithab ad-Dini. Di situ beliau menerangkan bahwa siapa saja yang menyangka syariah Islam tidak menjelaskan segala sesuatu, yaitu menjelaskan secara kurang lengkap, berarti telah berburuk sangka (su‘uzh zhann) terhadap syariah Islam yang sempurna. Na’uzhu billah.

Lagipula banyak hadis yang menerangkan tatanan pemerintahan yang ditinggalkan Nabi saw. Sabda Nabi saw. “Wa satakunu al-khulafa’ fataktsuru.” (Akan ada sesudahku para khalifah dan jumlahnya akan banyak) (HR Muslim). Nabi saw juga pernah mengatakan,”Tsuma takunu Khilafat[an] ‘ala Minhajin nubuwwah.” (Kemudian kenabian akan berganti menjadi Khilafah yang mengikuti jalan kenabian) (HR Ahmad dan al-Bazzar).

Hadis-hadis ini jelas menunjukkan adanya tatanan pemerintahan yang ditinggalkan Nabi saw, yang dinamakan Khilafah atau Imamah. Tatanan inilah yang melanjutkan tugas kepemimpinan Nabi saw setelah beliau mangkat.

Namun, ada yang menganggap bahwa praktik kekuasaan dan pemerintahan beliau itu bukan bagian ajaran agama, melainkan hanya tuntutan zaman. Menurut Kiai?

Pendapat itu tidak berdasar. Sebab, apa saja yang masuk kategori as-Sunnah, berarti bagian dari ajaran Islam, termasuk juga sistem pemerintahan yang dicontohkan Nabi saw.; kecuali telah di-naskh atau ada dalil yang mengecualikannya. Dalam satu kitab yang saya baca, yaitu At-Tasyri’ wa Sannul Qawanin fi ad-Dawlah al-Islamiyah, karya Sami al-Wakil dan Muhammad Mufti, ditegaskan sebuah kaidah fikih: Al-Ashlu al-akhdzu bi as-sunnah ka-tasyri’ da’im wa laysa waqtiyan. Artinya, hukum asal yang ada adalah wajib mengambil as-Sunnah sebagai ketentuan syariah yang berlaku abadi, bukan berlaku secara temporal.

Kaidah ini bersifat umum mencakup seluruh aspek dalam as-Sunnah, termasuk tentunya sistem pemerintahan. Dalam hal ini tak ada dalil yang me-naskh atau mengecualikan sistem pemerintahan Islam. Justru yang ada dalil yang menegaskannya, seperti sabda Nabi saw.,”Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para Khulaur Rasyidin sesudahku.”

Yang termasuk Sunnah Nabi dan para Khulafaur Rasyidin adalah sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah.

Benarkah tidak ada konsep dan metode baku dalam sistem politik Islam?

Begini. Pada pengangkatan para khalifah dalam Khulafaur Rasyidin, ada prosedur teknis yang memang boleh berubah-ubah. Namun, ada metode yang bersifat tetap. Prosedur yang boleh berubah-ubah itu adalah proses sebelum baiat. Ingat, sebelum baiat. Misalnya, prosedur pra-baiat pada era Abu Bakar, berbeda dengan prosedur pra-baiat pada era Umar bin Khaththab. Namun, baiat itu sendiri sebagai akad yang dilakukan umat untuk mengangkat Khalifah adalah metode yang tetap yang sifatnya wajib dan tidak berubah-ubah. Baiat selalu ada, baik pada Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman maupun Ali radhiyallahu ‘anhum.

Jadi, dalam sistem politik Islam, ada metode baku untuk mengangkat khalifah, yaitu baiat. Namun, prosedur sebelum baiat, boleh berbeda-beda. Sayangnya, tak sedikit yang salah paham atau sengaja membuat tafsiran yang salah mengenai peristiwa itu. Tak sedikit tokoh liberal yang berpendapat, karena prosedur suksesi keempat khalifah itu berbeda-beda, maka disimpulkan secara gegabah bahwa tidak ada konsep dan metode baku dalam sistem pemerintah Islam. Jelas, ini salah dan tendensius, yang tujuannya hanyalah memperkosa sejarah Islam untuk melegitimasi dan memaksakan sistem demokrasi sekular yang ada.

Bagimana dengan yang menyatakan bahwa Khilafah hanya sebagai romantisme sejarah?

Harus jelas dulu, apa maksud “romantisme sejarah”. Yang saya baca di literatur, romantisme sejarah adalah istilah teknis untuk kerinduan yang muncul di Eropa untuk kembali pada dominasi gereja Abad Pertengahan sebelum terjadinya Reformasi Gereja dan Renaissance. Itu yang saya baca dalam buku Ideologi Politik Mutakhir karya Ian Adams. Kalau itu yang dimaksud, maka istilah “romantisme sejarah” jelas tak cocok untuk konteks sejarah Islam, karena latar sosio-historis istilah itu adalah sejarah Eropa. Jadi, kalau orang menghubungkan Khilafah dengan istilah “romantisme sejarah” yang ber-setting sejarah Eropa, bagi saya itu sangat menggelikan dan merupakan suatu kepicikan wawasan. Namun, kalau yang dimaksud romantisme sejarah adalah kerinduan untuk kembali pada kehidupan Islam seperti yang diamalkan Rasulullah saw. dan para Sababatnya, tak ada salahnya, bukan? Di mana salahnya, coba? Bahkan Imam Malik pernah menegaskan, “Lan yashluha amru hadzihil ummati illa bi-maa shaluha bihi awwaluhaa.” (Kondisi umat Islam ini tak akan pernah baik, kecuali dengan menjalankan Islam yang membuat kondisi mereka baik seperti generasi awalnya).

Bagaimana pula dengan pihak yang keberatan dengan Khilafah karena katanya khilafah itu penuh darah?

Memang, harus diakui bahwa dari keempat Khalifah dalam masa Khulafaur Rasyidin, tiga khalifah telah terbunuh, yaitu Khalifah Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Namun, apakah karena itu lalu Khilafah itu statusnya hukumnya tidak wajib? Itu tidak ada hubungannya. Tak ada seorang ulama mujtahid pun yang menghubung-hubungkan dua hal itu untuk menolak kewajiban menegakkan Khilafah. Yang mengubung-hubungkan biasanya kaum orientalis yang kafir, seperti Thomas W. Arnold dan Margoliuth.

Memang, terbunuhnya khalifah adalah fakta sejarah. Namun, ingat, fakta sejarah itu bukanlah dalil syar’i (sumber hukum) untuk menolak Khilafah. Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Islam mengatakan, “At-Tarikh laysa mashdar[an] li al-ahkam asy-syar’iyah.” (Sejarah itu bukan sumber hukum Islam). Dalam kitab Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz I, Imam Taqiyuddin an-Nabhani membuat pengecualian. Kata beliau, sejarah bukan sumber hukum, kecuali sejarah Nabi saw. (sirah nabawiyyah) yang teruji riwayatnya dan sejarah para Sahabat ketika mereka berijmak (menyepakati) suatu perkara, karena Ijmak Sahabat adalah dalil syar’i sesudah al-Quran dan al-Hadis.

Perlu saya tambahkan, yang keberatan itu seharusnya juga bersikap adil dalam menilai sejarah dan harus konsisten. Jangan, berat sebelah. Coba, siapa yang bertanggung jawab atas tewasnya puluhan juta jiwa dalam Perang Dunia I dan II? Siapa yang bertanggung jawab atas tewasnya ratusan ribu jiwa karena bom atom di Hiroshima dan Nagasaki? Itu semua kan ulah negara-negara demokrasi-sekular, AS dan negara-negara Eropa. Jadi, kalau konsisten, mereka yang keberatan itu seharusnya menolak sistem demokrasi-sekular yang terbukti sangat kejam dan berlumuran darah.

Ada juga yang mengatakan bahwa Khilafah adalah ancaman bagi negeri ini karena NKRI itu sudah final. Bagaimana menurut Kiai?

Yang mengatakan seperti itu bagi saya orang sok pahlawan, yang mencoba memutarbalikkan fakta. Khilafah yang belum berdiri sudah dikatakan ancaman, tetapi AS yang sudah terbukti membantu disintegrasi Timor Timur mengapa didiamkan saja? Kalau ada orang yang berpendapat NKRI sudah final, menurut saya final seperti apa? Jika yang dimaksud adalah kesatuan wilayah teritorial, saya setuju, karena syariah Islam mengharamkan disintegrasi. Kalau yang dimaksud adalah negara kesatuan (unitary state), bukan negara federal, saya juga setuju, karena sistem federal bertentangan dengan Islam. Namun, kalau yang dimaksud final adalah konstitusi atau sistem pemerintahan, kenyataannya tak pernah final. Selalu berubah-ubah dan dinamis, bergantung aspirasi masyarakat. Dulu kita awalnya sistem presidensial, lalu sistem parlementer, lalu sistem presidensial hingga sekarang. UUD kita juga selalu berubah-ubah, termasuk telah terjadi amandemen berkali-kali di masa reformasi. Jadi, finalnya itu final apanya, wong kenyataannya selalu berubah-ubah terus? Maka dari itu, andaikata generasi anak-cucu kita kelak menghendaki Khilafah, ya itu hak mereka. Terserah mereka, sepanjang itu menjadi aspirasi umat Islam dan ditempuh dengan cara-cara damai.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []